flash mob sebagai perilaku kolektif

Setiap praktik sosial yang nampak dalam kacamata realitas, sekilas tampak dari sebuah kesadaran yang terstruktur secara rapi, namun di balik praktik praktik itu ada hal yang memaksa individu secara tidak sadar untuk bertindak maupun berperilaku. Kondisi ini secara tidak sadar mempengaruhi individu dalam setiap perbuatannya.
Adanya internalisasi nilai nilai inilah yang membuat masyarakat secara kolektif mampu saling menjaga kebudayaan yang merupakan gagasan kolektif. Sehingga jika muncul sebuah praktik dimana kondisi kebuadayaan tidak menerimanya maka akan hadir sebuah sanksi secara sosial dimana dia berada.

Deviant adalah sebuah istilah yang menunjuk kepada individu atau sebagian orang yang melakukan sebuah praktik sosial yang tidak bisa di terima oleh nilai nilai sebuah kebuadayaan diamana dia berada. Senantiasa ada hal yang menjaga kebuadayaan ini agar selalu berada dalam kondisi nilai yang telah ada sejak dulu.



Keadaan yang seperti ini coba di jelaskan oleh Emile Durkheim sebagai fakta sosial yang merupakan aliran sosiologi positif dengan pengkajian berasal dari atribut eksternalitas mencakup struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai sosial, fakta sosial bila menurut konteks konsepsi Émile Durkheim didalamnya dapat meliputi kesadaran kolektif dan representasi kolektif berkaitan dengan cara bertindak yang berasal dari elaborasi kolektif yang dijabarkan karena adanya aturan hukum yang bersifat otoritatif termasuk didalamnya praktik keagamaan ataupun yang sekuler yang tertuang dalam norma-norma dan institusi adalah contoh dari fakta-fakta sosial yang berbentuk baku yang berasal dari kelompok praktik diambil secara kolektif dan dengan demikian terdapat adanya pemaksaan diri dan internalisasi yang dilakukan oleh para individu oleh karena secara kolektif telah diuraikan sehingga dapat membatasi moral dan perilaku dari tiap-tiap individu.

Sehingga Kecenderungan orang-orang adalah berperilaku dengan berpedoman pada institusi yang berlaku. Perilaku orang-orang di pasar akan berpedoman pada institusi ekonomi, demikian juga perilaku orang ketika di kampus akan memedomani ketentuan ketentuan yang ada didalam institusi pendidikan. Ketika seseorang masuk ke dalam sebuah masjid, maka perilaku orang itu pun akan menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan baku cara berperilaku di masjid.

Sehingga semua perilaku individu akan tunduk taat dan patuh terhadap pedoman pedoman yang menjadi aturan dasar fakta sosial. Hal ini disebabkan karena fakta sosial berlaku secara universal, kemanapun wajah menghadap maka di situlah wajah wajah fakta sosial yang senantiasa mengikat individu dan berperilaku sesuai dengan konteks.

Jika ada individu yang melanggar norma secara sosial (fakta sosial) maka dia dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dan tentu saja akan ditindaki sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku dalam kebudayaan tertentu.
Namun, terkadang kita melihat sejumlah anggota masyarakat secara berkelompok atau berkerumun menampilkan perilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang ada, misalnya sekelompok massa yang melakukan aksi pemogokan kerja, supporter sepakbola merusak stadium dan fasilitas umum serta kendaraan yang diparkir di sekitarnya, sekolompok orang menyerang desa yang diidentifikasi merupakan tempat praktik ajaran yang mereka anggap sesat, dan sebagainya. Tindakan ini karena di lakukan secara kolektif maka tidak dikategorikan sebagai tindakan menyimpang, akan tetapi di sebut sebagai perilaku kolektif.

Perilaku kolektif sebagaimana dapat kita lihat dari namanya, merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang; bukan tindakan individu semata-mata. Perilaku kolektif dipicu oleh suatu rangsangan yang sama, yang menurut Light Keller dan Calhoun, dapat terdiri atas suatu peristiwa, benda atau ide [Kamanto Sunarto, dalam "Pengantar Sosiologi" edisi Revisi, 2004]. 

Contoh konkret dari perilaku kolektif yang diberikan oleh Kamanto Sunarto adalah tawuran pelajar; perusakan kantor tabloid MONITOR di Jakarta oleh sejumlah demonstran pada tahun 1990; perampokan besar-besaran di kota New York pada tahun 1977 yang dipicu oleh persitiwa padamnya listrik di seluruh kota secara mendadak [Horton dan Hunt, 1984: 483]; perusakan masjid di Babri di Ayodha, India tahun 1992 [TIME, 12 November 1990 dan 21 Desember 1992].

Flashmobs adalah sekelompok besar orang (dalam jumlah yang sangat banyak) yang berkumpul di suatu tempat umum secara tiba-tiba, melakukan suatu tindakan (aksi) yang tidak biasa (tidak biasa terjadi di tempat umum tersebut), untuk waktu yang singkat, kemudian bubar (setelah tindakan selesai dilaksanakan). 

Diana Kendall, mengutip dari Wordspy.com, memaparkan definisi flashmobs sebagai A flash mob is a large group of people who gather in a usually predetemined location, perform some brief action and then quickly disperse [wordspy.com]. Jika kita melihat sejarah flashmobs ini, sesungguhnya telah pernah terjadi sejak masa lampau, sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Seperti yang diutarakan oleh Diana Kendall, contohnya adalah demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok demonstran di tahun 1999, melakukan aksi protes terhadap World Trade Organization di Seattle, Wahington, yang diatur dan diprakarsai melalui sebuah website, telepon seluler, dan perangkat lainnya yang memiliki kapabilitas komunikasi dan komputerisasi. 

Pada masa sekarang, flashmobs biasanya dirancang untuk bersenang-senang dengan tidak menimbulkan efek yang berbahaya. Flashmobs kian tumbuh dan menjadi popular. Banyak para pakar sosiologi berpendapat bahwa aksi ini tidak akan berlangsung lama gaungnya. Akan tetapi sejatinya fenomena flashmob bisa bertahan lebih lama karena sebenarnya dia telah ada dan mengakar dari tahun 1970-an. [Diana Kendall, Sociology in Our Times, 2008: 672] (http://manshurzikri.wordpress.com/2010/11/25/perkuat-integrasi-dengan-flashmob/) 

Secara harfiah, flash mob bisa diterjemahkan sebagai ‘kerumunan dadakan’. Bentuk awalnya bukan tarian, melainkan lebih kepada gerakan massa untuk menarik perhatian pemerintah, terhadap isu politik atau ekonomi yang sedang berkembang. Selain tarian, flash mob bisa menggunakan konsep nyanyian, gerakan tanpa suara, atau teriakan. Selanjutnya, sejumlah penari akan muncul secara mendadak di tempat publik dan semakin bertambah dalam hitungan detik, kemudian bubar. Konsep inilah yang kemudian diadopsi secara perlahan dalam bentuk tarian. 

Berangkat dari deskripsi diatas maka flash mob merupakan salah satu perilaku kolektif karena sifatnya yang merupakan tindakan bersama dan dilakukan oleh sekelompok orang, dilakukan secara mendadak dan waktu yang relatif cepat. Walaupun menurut hemat penulis flash mob tidak sepenuhnya bisa di kategorikan kedalam perilaku kolektif.

Perilaku kolektif adalah istilah dalam sosiologi yang mengandung pengertian cara orang bertindak dalam kerumunan dan kelompok-kelompok besar yang tidak terorganisasi lainya. Jenis perilaku kolektif antara lain iseng, panic, dan rusuh. Perilaku seperti ini sering muncul dalam situasi yang membangkitkan emosi banyak orang. Situasi demikian itu terjadi dalam kegiatan olahraga, demonstrasi yamg memproses sesuatu, dan bencana alam.

Perilaku-perilaku kolektif biasanya terjadi karena menurutnya kata hati, tidak terencana, dan berlangsung singkat. Bagaimanapun juga, perilaku kolektif cocok digunakan dalam kerangka pengerahan masa. Misalnya, partai politik atau gerakan social yang memanfaatkan demonstrasi masal sebagai saran untuk melakukan perubahan social.

ilmuan yang berjasa merumuskan konsep mengenai perilaku kolektif adalah Gustav Le Bon, seorang ahli fisika dan ilmu social berkebangsaan Perancis yang pertama kali melakukan studi psikologis terhadap kerumunan pada tahun 1890-an.

Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang dilakukan sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair.

MACAM-MACAM BENTUK PERILAKU KOLEKTIF

A. Crowd (Kerumunan)

Secara deskriptif Milgram (1977) melihat kerumunan (crowd) sebagai:
1. Sekelompok orang yang membentuk agregasi (kumpulan)
2. Jumlahnya semakin lama semakin meningkat,
3. Orang-orang ini mulai membuat suatu bentuk baru (seperti lingkaran),
4. Memiliki distribusi diri yang bergabung pada suatu saat dan tempat tertentu dengan lingkaran (boundary) yang semakin jelas,
5. Titik pusatnya permeable dan saling mendekat.

Ada beberapa bentuk kerumunan (Crowd) yang ada dalam masyarakat:

1. Temporary Crowd : orang yang berada pada situasi saling berdekatan di suatu tempat dan pada situasi sesaat.
2. Casual Crowd : sekelompok orang yang berada di ujung jalan dan tidak memiliki maksud apa-apa.
3. Conventional Crowd : audience yang sedang mendengarkan ceramah.
4. Expressive Crowd: sekumpulan orang yang sedang nonton konser musik yang menari sambil sesekali ikut melantunkan lagu.
5. Acting Crowd atau rioting crowd : sekelompok massa yang melakukan tindakan kekerasan.
6. Solidaristic Crowd: kesatuan massa yang munculnya karena didasari oleh kesamaan ideologi.

B. MOB :

Adalah kerumunanan (Crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan/penyimpangan (violence) dan tindakan destruktif. Umumnya mereka melakukan tindakan melawan tatanan sosial yang ada secara langsung. Hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustrasi, adanya perasaan dicederai oleh institusi yang telah mapan atau lebih tinggi. Bila mob ini dalam skala besar, maka bentuknya menjadi kerusuhan massa. Mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum dan apapun yang dipandang menjadi sasaran kemarahanannya.

C. PANIC

Adalah bentuk perilaku kolektif yang tindakannya merupakan reaksi terhadap ancaman yang muncul di dalam kelompok tersebut. Biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian bencana (disaster). Tindakan reaksi massa ini cenderung terjadi pada awal suatu kejadian, dan hal ini tidak terjadi ketika mereka mulai tenang. Bentuk lebih parah dari kejadian panik ini adalah Histeria Massa. Pada histeria massa ini terjadi kecemasan yang berlebihan dalam masyarakat. misalnya munculnya isu tsunami, banjir.

D. RUMORS

Adalah suatu informasi yang tidak dapat dibuktikan, dan dikomunikasikan yang muncul dari satu orang kepada orang lain (isu sosial). Umumnya terjadi pada situasi dimana orang seringkali kekurangan informasi untuk membuat interpretasi yang lebih komprehensif. Media yang digunakan umumnya adalah telepon.

E. OPINI PUBLIC

Adalah sekelompok orang yang memiliki pendapat beda mengenai sesuatu hal dalam masyarakat. Dalam opini publik ini antara kelompok masyarakat terjadi perbedaan pandangan / perspektif. Konflik bisa sangat potensial terjadi pada masyarakat yang kurang memahami akan masalah yang menjadi interes dalam masayarakat tersebut. Contoh adalah adanya perbedaan pendangan antar masyarakat tentang hukuman mati, pemilu, penetapan undang-undang tertentu, dan sebagainya. Bentuknya biasanya berupa informasi yang beda, namun dalam kenyataannya bisa menjadi stimulator konflik dalam masyarakat.

F. PROPAGANDA

Adalah informasi atau pandangan yang sengaja digunakan untuk menyampaikan atau membentuk opini publik. Biasanya diberikan oleh sekelompok orang, organisasi, atau masyarakat yang ingin tercapai tujuannya. Media komunikasi banyak digunakan untuk melalukan propaganda ini. Kadangkala juga berupa pertemuan kelompok (crowds). Penampilan dari public figure kadang kala menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan propaganda ini. (http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/psikologi-massa-dan-konflik/) 

Ada yang menarik jika kita melihat aksi flash mob, dalam kaitannya sebagai perilaku kolektif. Dalam flash mob ada yang di sebut dengan starter, yaitu orang yang pertama kali melakukan aksi flashmob kemudian mobbers (orang orang yang terlibat dalam aksi flash mob) yang lain berpura pura menjadi penonton dalam hal ini sebagai Temporary Crowd. Kemudian satu persatu masuk ke dalam aksi flash mob yang biasanya kebanyakan sebagai aksi propaganda atau bahkan sebagai gerakan sosial.

Komentar