Celana dalam Serli


Waktu menunjukkan tepat pukul 06.00 wita. Alarm jam yang terletak di bagian kepala ranjang berbentuk lemari, berdering sangat keras. Berbunyi terus menerus tak mau berhenti sampai ada yang menghentikannya. Artinya aku harus segara bangun, mandi dan mempersiapkan diri untuk ke sekolah.
Jarak rumahku menuju sekolah terbilang cukup jauh. Aku harus mengendarai sepeda di jalan yang belubang untuk keluar dari kompleks perumahanku. Agar perjalanan tak terasa, biasanya aku singgah ke rumah temanku dan menunggunya keluar dari rumahnya lalu kami mengayuh sepeda bersama. Sekitar empat puluh sampai lima puluh menit mengayuh, akhirnya kami sampai di sekolah.
SD Negeri Inpres 181 nama sekolahku. Sekolah yang dibangun saat rezim orde baru sedang gencarnya melakukan pembangunan. Bangunan yang memiliki enam kelas untuk belajar mengajar, satu ruangan besar untuk ruang guru, dan memiliki halaman sebesar seperempat lapangan sepak bola yang biasa digunakan untuk upacara setiap hari senin. Juga beberapa petak lahan yang digunakan oleh istri penjaga sekolah untuk menjajankan makanan untuk siswa saat jam istirahat.

Seperti anak lainnya, jam istirahat kugunakan untuk mebelanjakan uang seribuanku. Biasanya aku membelanjakan setengahnya saat istirahat jam pertama, dan kuhabiskan saat sepulang dari sekolah.
Aku kini duduk di kelas 5. Seorang murid pindahan yang aku tak ingat dari mana asalnya, diperkenalkan oleh wali kelasku. Aku tak memperhatikan apa yang dibicarakan oleh ibu wali kelas. Aku hanya memandangi wajah anak baru itu. Aku tahu bukan hanya aku saja yang memandanginya, hampir seluruh anak laki laki yang ada dikelasku juga sedang memperhatikannya.
Serli perdana putri namanya. Wajahnya bulat lonjong, kurus seperti artis cilik Cikita Maidi yang tenar saat itu. Dia memperkanalkan namanya dengan suara yang lembut di depan kelas. Senyumnya yang ramah membuat seisi kelas gaduh memanggil manggil namanya.
Seperti biasa anak perempuan di kelas kami senang bermain Loncat karet saat jam istirahat atau saat guru sedang tidak mengajar. Zerli sapaan akrabnya, dengan cepat dia bisa bergaul dengan anak perempuan lain.
Kami yang anak lelaki, jika permainan loncat karet sedang dimainkan, biasanya duduk bejejer berhadapan dari arah mereka mengabil locatan.
Kini giliran serli yang mengambil loncatan. Loncatan merdeka orang menyebutnya. Loncatan yang dilakukan saat rentangan karet berada pada posisi telunjuk yang diarahkan ke atas kepala kedua orang yang sedang memegang karetnya.
Serli mengambil langkah jauh kebelakang. Matanya tajam menatap karet yang terbentang jauh di atas kepalanya. Dalam hitungan ketiga dia berlari, sembari menganggkat sedikit roknya ke bagian atas lutut untuk memudahkannya bergerak dan meloncat tentunya.
Yah, Serli berhasil melakukan loncatan merdeka. Kami anak lelaki yang sedari tadi menyimkan permainan loncat karet ini ikut bersorak akan keberhasilan Serli melewati loncatan merdeka. Kami bersorak kegeringan dan berlarian bahkan ada yang saking senangnya tidur di tanah kering dan berjoget seperti cacing kepanasan.
Kami bersorak bukan karena Serli berhasil melakukan loncatan merdeka itu. Kami bersorak karena berhasi melihat isi dalam rok yang diguanakan anak baru itu. Hampir semua perempuan di kelas kami yang bermain loncat karet, sudah kami lihat warna celana dalamnya.
Pemandangan yang langka. Anak baru berwajah cantik ini yang baru sehari bersama kami, tidak membutuhkan waktu lama  untuk melihat warna celana dalamnya. Hampir sebulan kami membicarakan betapa indahnya celana dalam yang Serli kenakan. Tak sungkan kami menggoda Serli dan mempertanyakan kabar celana dalam pelanginya.
Tak lama setelah catur wulan ketiga berjalan, tersiar kabar akan kepindahan Serli. Kami merasa tak rela jika harus berpisah dengannya. Selain karena kami tak lagi bisa melihat celana dalamnya, kami akan kelihangan semangat untuk sekolah. Bagi ku dan teman laki lakiku, Serli adalah sosok yang membuat kami senang di tengah tengah pelajaran yang mebosankan.
Jika harus memilih, aku rela tak pernah punya kesempatan untuk melihat celana dalamnya dari pada dia harus pergi meninggalkan kami. Meski kami sering mengolok-oloknya, Serli tak pernah betul betul marah. Dia tetap ramah dengan kami, tak luput senyum simpulnya selalu menghiasi bibirnya.
Selamat jalan Serli.....!

Komentar