Gandum Di Negara Tak bergandum


“Jika sebuah negara dapat mensuplai kita dengan komoditi yang lebih murah, maka lebih baik kita membeli dari mereka daripada memproduksi sendiri”. Adam smith


Selain praktis dan mudah ditemukan, mie instan kerap dijadikan sebagai alternatif untuk mengganjal rasa lapar. Trend masyarakat urban yang kerap kita jumpai khususnya di kalangan mahasiswa. Bahkan berlaku sampai di pelosok desa yang kadang menggunakan mie instant sebagai lauk.
Parahnya produk ini digemari oleh banyak kalangan, mulai dari anak kecil, sampai orang dewasa. Bagaimana tidak, hampir  setiap hari tayangan televisi kita mempertontonkan iklannya. Menawarkan berbagai pilihan rasa sesuai selera, dengan harga yang variaif tapi masih tergolong murah.


Bukan hanya mie instant, biskuit dan roti juga memenuhi layar kaca masyarakat kita. Makanan berbahan dasar gandum yang telah diolah menjadi tepung terigu. Padahal negara kita bukanlah produsen gandum. Sebuah keanehan yang menggelikan.
Melalui iklan, penggiringan wacana mulai dibentuk. Kita seolah dipaksa mengkonsumsi gandum dan memberi nafkah petani Amerika atau Australia yang notabene justru mengalami surplus. Ini juga merupakan warisan dari orde baru yang memperkenalkan kita dengan komoditi ini melalui bantuan hibah.
Pada era orde baru kekuatan pangan mulai diperhatikan. Sayangnya beras sebagai kebutuhan pokok belum bisa memenuhi kuota. Melihat kondisi ini, pihak pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan berupa gandum untuk mengimbangi kebutuhan pangan nasional. Kerja sama ini kemudian disebut PL480.
Sebuah departemen yang mengurusi pangan di Amerika Serikat, US Departemen of Agriculture (USDA) mengeluarkan laporan yang tertulis bahwa Indonesia merupakan negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia (sebesar 6,7 juta ton tahun 2011) setelah Mesir. Parahnya ketersediaan gandum nasional 100% impor.
Untuk mengimpor gandum sebanyak itu, harganya berkisar Rp. 21 trilliun /tahun. Harga yang cukup tinggi, padahal jika dana ini digunakan untuk meberi modal bantuan pada petani mungkin hasilnya bisa lain. Selain itu, kebijakan impor justru banyak menghabiskan devisa negara.
Impor dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dan diversifikasi pangan. Karena harga pangan, khususnya beras melonjak naik, maka kebijakan impor menjadi satu satunya pilihan agar harga tidak begitu mahal. Sayangnya diantara semua pilihan, ubi, singkong dan sagu, mie instant dan rotilah yang paling rasional untuk menjadi alternatif pangan.
Praktis, Gandum menjadi komoditi pangan yang paling populer nomor dua setelah beras. Karena tersedia dalam jumlah yang cukup besar, sehingga harganya relatif lebih terjangkau dibanding dengan harga beras. Beras yang paling mahal Rp. 11.300 /Kg untuk beras Cianjur Kepala dan yang paling murah Rp. 7.200 / Kg, untuk jenis IR 64 – III menurut situs resmi perum BULOG.
Dampak dari mengimpor gandum yang paling jelas adalah ketergantungan. Karena petani kita bukanlah petani gandum, maka untuk memenuhi kuota permintaan gandum, setiap tahun kita harus mengimpor.  Disisi lain kontur tanah yang berbukit, iklim yang tropis, biaya investasi tinggi, membuat petani dan pembuat kebijakan tidak mau mengambil resiko untuk membudidayakan gandum.
Tak pelak gandum menghiasi serangkaian kegiatan ekonomi di Indonesia. Kita harus membeli sesuatu yang tidak diproduksi negara ini. Malah negara sengaja mendatangkannya dan memaksa kita melaui korporosi untuk menikmatinya. Bukannya memaksimalkan potensi pangan nasional. Justru berdalih sebagi konversi pangan.
Selain  mengimpor gandum kebijakan negara kita juga memproses gandum menjadi tepung terigu. Untuk menekan ketergantungan akan kebutuhan terhadap beras yang tidak stabil. Kebijakan ini  justru membuat kedaulatan pangan menjadi keropos, ditengah petani kita yang juga masih dibawah garis kemiskinan.
Hasil penggilingan gandum menjadi tepung terigu dibutuhkan oleh banyak industri pengolahan makanan. Dari data Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) tahun 2013 dapat dilihat, 20% untuk mie instan, rumah tangga dan aneka gorengan masing 5 %, biskuit 15 %,  mie kuah (wet nodle)  30 %, dan untuk pembuatan roti sebesar 25 %.
PT. Bogasari sebagai anak perusahaan Indofood adalah salah satu dari perusahaan besar yang membutuhkan lebih dari 30 ton gandum /bulan. Ini untuk memenuhi permintaan pasar. Tentu, perusahaan akan melakukan segala upaya untuk meningkatkan penjualannya, termasuk iklan.
Jika ini terus berlanjut, tentu masyarakat kita tak akan pernah lepas dari jeratan konsumsi gandum. Sayangnya, yang diuntungkan adalah mereka sebagai produsen. keberadaan gandum tidak berarti harus menyingkirkan atau meminggirkan peran dan potensi tanaman pangan lokal.[]

Komentar